Posisi geografis Indonesia yang strategis pada jalur pelayaran Samudera Pasifik Utara menuju Samudera India merupakan potensi bagi negeri ini untuk mengembangkan investasi di bidang pembangunan pelabuhan, khususnya untuk kapal kargo, kata seorang peneliti bidang transportasi.
“Letak geografis Indonesia menjadikan negeri ini sebagai titik pertemuan jalur transportasi laut, terutama untuk kapal-kapal kargo,yang sangat sibuk di dunia,” kata Ronald Apriliyanto Halim, peneliti bidang transportasi dan logistik yang juga merupakan kandidat doktor di Technology University of Delft (TUD) , Belanda, baru-baru ini.
Ronald mengatakan hal tersebut saat memberikan pemaparan pada kolokium yang diselenggarakan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Delft, Belanda, belum lama ini mengenai analisis strategis pembangunan pelabuhan Indonesia terhadap pola spasial aliran transportasi barang secara global.
Indonesia, khususnya beberapa daerah kepulauan Sumatera yang berada di dekat wilayah perairan Selat Malaka merupakan lokasi yang strategis bagi kapal-kapal laut yang berlayar dari dan menuju negara-negara yang berada pada Samudera Pasifik bagian Utara seperti Cina, Jepang dan Korea, katanya.
Bahkan jalur pelayaran yang sudah berkembang selama ribuan tahun tersebut juga menghubungkan negara-negara Asia Timur dan Tenggara dengan negara-negara yang terletak di wilayah perairan Samudera India bahkan hingga Timur Tengah, Benua Afrika, Eropa dan Amerika.
“Walaupun sempit, Selat Malaka adalah jalur pelayaran yang efisien bagi kapal-kapal yang berlayar dari timur ke barat atau pun sebaliknya,” kata Ronald.
Menurut dia jika tidak melewati jalur ini pelayaran akan memakan waktu lama sehingga biaya akan semakin besar.
“Tentu hal ini tidak diharapkan bagi pihak mana pun, apalagi pelayaran ini mengangkut komoditi dagang yang harus memperhitungkan setiap aspek yang berkaitan dengan biaya,” tambah Ronald.
Peluang Indonesia
Jalur pelayaran Selat Malaka termasuk dalam teritorial tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura.
“Sejauh ini Singapura-lah yang cukup berhasil mengelola potensi geografis jalur pelayaran di Selat Malaka,” kata Ronald yang saat ini tengah mengerjakan penelitian doktoral dengan topik utama pengembangan model logistik kargo/muatan global yang dapat digunakan untuk menganalisa dampak dari perubahan ekonomi dunia terhadap pola spasial aliran transportasi barang secara global.
Saat ini diperkirakan terdapat 90.000 kTEU (kilo twenty-foot equivalent unit) yang harus diakomodasi oleh Port of Singapore (PSA). Satu TEU setara dengan kapasitas kargo berukuran container 6,1 kali 2.4 meter.
Namun demikian dengan kapasitas saat ini sebesar 24.700 kTEU, PSA atau pelabuhan Singapura tersebut akan menghadapi tantangan serius pada 2017 ikarena terbatasnya wilayah Singapurasehingga ruang yang tersedia di pelabuhan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pelayaran transportasi laut.
“Untuk pengembangan pelabuhan yang sudah ada pun hampir tidak mungkin,” kata Ronald.
Pada 2030 diperkirakan 90 milyar TEU akan melewati Selat Malaka dan ini tidak akan mampu diakomodasi oleh PSA. Ini adalah kesempatan bagi Indonesia termasuk di dalamnya pemerintah dan para investor untuk mengembangkan pelabuhan untuk memenuhi permintaan pasar pelayaran kapal kargo, lanjutnya.
Batu Ampar
Ronald menjelaskan, pelabuhan Indonesia di dekat Selat Malaka yang saat ini cukup berkembang adalah Batu Ampar yang terletak di Pulau Batam, Provinsi Kepulauan Riau, 18 kilometer sebelah selatan Singapura.
“Letak pelabuhan Batu Ampar sangat strategis dalam rute pelayaran kapal internasional,” kata Ronald yang mempunyai spesialisasi di bidang transportasi, infrastruktur dan logistik (TIL) serta pemodelan, simulasi dan gaming (MSG).
Berbeda dengan Singapura yang total luas wilayahnya hanya 710 kilometer persegi sehingga masalah lahan menjadi isu penting dalam pengembangan pelabuhan, Indonesia hampir sama sekali tidak mengalami masalah tersebut. Luas Kepulauan Batam 715 kilometer persegi sementara Indonesia memiliki luas 1.919.440 kilometer persegi .
“Ini potensi besar bagi Indonesia selain posisinya yang strategis di Selat Malaka,”kata Ronald yang menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang.
Dia menjelaskan nilai ekspor barang dari Batam saat ini mencapai 5,89 milyar dolar AS, berasal dari 611 perusahaan asing yang semuanya melewati pelabuhan Batu Ampar. Hingga akhir 2007 jumlah perusahaan asing yang memanfaatkan pelabuhan ini ada 950.
Pelabuhan laut utama di Kepulauan Batam ini memiliki kapasitas kargo sebesar 70.000 kontainer TEU sementara permintaan aktual pada 2005 mencapai 200.000 TEU.
Rencana pengembangan Batu Ampar menargetkan peningkatan kapasitas kargo sebesar 900.000 TEU dan 2.000.000 kapasitas container dengan nilai investasi 105 juta dolar AS.
“Investasi ini mencakup pekerjaan pengerukan, pembangunan pelabuhan kontainer, reklamasi serta gantry crane (kendaraan pengerekan),” kata Ronald.
Kerja sama
Saat ini Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II berencana membangun kerja sama dengan Compagnie Maritime D`affrtement-Compagnie Generale Maritime (CMA-CGM) perusahaan pengapalan dan transportasi asal Perancis guna membangun dan mengelola terminal container Batu Ampar.
Menurut Ronald kerja sama pemerintah Indonesia dalam hal ini melalui perusahaan umum milik negara Pelindo II dengan investor asing merupakan salah satu langkah untuk mempercepat realisasi pengembangan Batu Ampar sebagai pelabuhan kargo berskala internasional.
Namun demikian dengan kerja sama yang melibatkan pihak asing tersebut pemerintah harus senantiasa mempertahakan kepemilikian dan hak pengelolaan pelabuhan Batu Ampar sehingga investasi ini tetap menguntungkan bagi Indonesia.
“Segala bentuk kontrak dan kerja sama antara Indonesia dengan pemangku kepentingan terutama yang berasal dari luar seperti World Bank dan perusahaan asing lainnya harus senantiasa diawasi dan dikontrol sehingga kita tidak akan rugi,” katanya.
(ANT)(ANTARA News) –